Disebutkan dalam sebuah hadits, “Saling berwasiatlah kalian tentang wanita dengan baik, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas,” dst. Mohon penjelasan makna hadits dan makna “tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas’”

Jawaban:

Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim) dalam masing masing kitab Shahih mereka, dari Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

” Saling berwasiatlah kalian tentang wanita dengan baik, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk,  dan sesunggugnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka nasehatilah para wanita dengan baik.” [(HR al-Bukhari Kitab an-Nikah (5186)]

Ini adalah perintah untuk para suami, para ayah, saudara saudara laki laki dan lainnya untuk menasehati kaum wanita dengan baik, berbuat baik terhadap mereka , tidak mendzhalimi mereka dan senantiasa memberikan ha-hak mereka serta mengarahkan mereka kepada kebaikan. Ini yang diwajibkan atas semua orang berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam,“Saling berwasiatlah tentang wanita dengan baik.”

Hal ini jangan sampai terhalangi oleh perilaku mereka yang adakalanya bersikap buruk terhadap suaminya dan kerabatnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan karena para wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, sebagaimana dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bahwa tulang rusuk yang paling mudah bengkok adalah yang paling atas.

Sebagaimana diketahui, bahwa yang paling atas itu adalah yang setelah pangkal rusuk, itulah tulang rusuk yang paling bengkok, itu jelas. Maknanya, pasti dalam kenyataannya ada kebengkokkan dan kekurangan. Karena itulah disebutkan dalam hadits lain dalam ash-Shahihain.

“Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bisa menghilangkan akal laki laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita).”  [(HR. Al Bukhari, kitab al-Haidh (304) dan Muslim, kitab al-Iman (80)]

Maksudnya bahwa ini penetapan Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang disebutkan dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Makna “kurang akal” dalam sabda Nabishalallahu ‘alayhi wasallam adalah bahwa persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang laki laki.

Sedangkan makna “kurang agama” dalam sabda beliau adalah bahwa wanita itu kadang selama beberapa hari dan beberapa malam tidak shalat, yaitu ketika sedang haidh dan juga saat nifas. Kekurangan ini merupakan ketetapan Allah pada kaum wanita sehingga wanita tidak berdosa dalam hal ini.

Maka hendaknya wanita mengakui hal ini sesuai dengan petunjuk nabi shalallahu ‘alayhi wasallamwalaupun ia berilmu dan bertaqwa, karena nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tapi merupakan wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya, lalu beliau sampaikan kepada ummatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm:4)

Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 5 hal. 300-301, Syaikh Ibn Baz.

Fatwa Fatwa Terkini, (Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram), Darul Haq, Jil. 1, hal.518

Dalam sebuah majlis dan pergaulan, sikap dan tindakan ini sungguh amat tidak terpuji, bahkan sikap dan tindakan seperti ini sebenarnya merupakan langkah syaitan untuk memecah belah umat Islam dan menebarkan kecemburuan, kecurigaan dan kebencian di antara mereka. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menerangkan hukum dan akibat perbuatan ini dalam sabdanya:

“Jika kalian sedang bertiga, maka janganlah dua orang berbisik tanpa seorang yang lain, sehingga kalian membaur dalam pergaulan dengan manusia, sebab yang demikian itu akan membuatnya sedih” (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 11/83).

Termasuk di dalamnya berbisik dengan tiga orang dan meninggalkan orang keempat dan demikian seterusnya. Demikian pula, jika kedua orang tersebut berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Tidak diragukan lagi, berbisik hanya berdua dengan tidak menghiraukan orang ketiga adalah salah satu bentuk penghinaan kepadanya. Atau memberikan asumsi bahwa keduanya menginginkan suatu kejahatan terhadap dirinya. Atau mungkin menimbulkan asumsi-asumsi lain yang tidak menguntungkan bagi kehidupan pergaulan mereka di kemudian hari.

(Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, Dosa-Dosa Yang Dianggap Biasa)

Pertanyaan.

Sebagian ahli ilmu dari kalangan para praktisi dakwah dan sebagian penuntut ilmu (thalib ‘ilm), berbicara tentang masalah-masalah syari’at padahal mereka bukan ahlinya. Fenomena ini telah memasyarakat di kalangan kaum muslimin sehingga permasalahannya menjadi campur baur. Kami mengharap kepada Syaikh yang mulia untuk menjelaskan fenomena ini, semoga Allah memelihara Syaikh.

Jawaban.

Seorang muslim wajib memelihara agamanya dan hendaknya tidak meminta fatwa dari yang asal-asalan dan tidak berkompeten, tidak secara tertulis dan tidak juga lewat siaran yang dapat didengar dan tidak dari jalan apapun, baik yang berbicara itu seorang pakar maupun seorang ahli, karena yang memberikan fatwa harus mantap dalam memberikan fatwa, karena tidak setiap yang memberikan fatwa itu berkompeten untuk memberi fatwa, maka harus waspada.

Maksudnya, seorang muslim harus menjaga agamanya sehingga tidak terburu-buru dalam segala hal dan tidak menerima fatwa dari yang bukan ahlinya, tapi harus jeli sehingga bersikap hati-hati dalam kebenaran, bertanya kepada ahlul ilmi yang dikenal konsisten dan dikenal dengan keutamaan ilmunya sehingga memelihara agamanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

Artinya : “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [An-Nahl : 43]

Ahludz dzikr adalah ahlul ilmi yang menguasai ilmu dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Tidak boleh bertanya kepada orang yang agamanya diragukan atau keilmuannya tidak diketahui atau orang yang diketahuinya berpaling dari faham Ahlus Sunnah.

[Majalah Al-Buhuts, edisi 36, hal. 121, Syaikh Ibnu Baz]

[Fatwa Fatwa Terkini, (Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram), Darul Haq, Jil. 2, hal.203]

ETIKA BERBEDA PENDAPAT

Posted: 29 September 2010 in FIQH DAN SEPUTAR ILMU

Pertanyaan:

Syaikh yang terhormat, banyak perbedaaan pendapat yang terjadi di antara para praktisi dakwah yang menyebabkan kegagalan dan sirnanya kekuatan. Hal ini banyak terjadi akibat tidak mengetahui etika berbeda pendapat. Apa saran yang Syaikh sampaikan berkenan dengan masalah ini ?

Jawaban:

Yang saya sarankan kepada semua saudara-saudara saya para ahlul ilmi dan praktisi dakwah adalah menempuh metode yang baik, lembut dalam berdakwah dan bersikap halus dalam masalah-masalah yang terjadi perbedaan pendapat saat saling mengungkapkan pandangan dan pendapat. Jangan sampai terbawa oleh emosi dan kekasaran dengan melontarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas dilontarkan, yang mana hal ini bisa menyebabkan perpecahan, perselisihan, saling membenci dan saling menjauhi. Seharusnya seorang dai dan pendidik menempuh metode-metode yang bermanfaat, halus dalam bertutur kata, sehingga ucapannya bisa diterima dan hati pun tidak saling menjauhi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Taala berfirman kepada NabiNya Shallallahu alaihi wa sallam.

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu [Ali-Imran : 159]

Allah berfirman kepada Musa dan Harun ketika mengutus mereka kepada Firaun.

Artinya : Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut [Thaha : 44]

Dalam ayat lain disebutkan.

Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik [An-Nahl : 125]

Dalam ayat lain disebutkan.

Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka [Al-Ankabut : 46]

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan mengindahkannya, dan tidaklah (kelembutan itu) luput dari sesuatu kecuali akan memburukkannya [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2594]

Beliaupun bersabda.

Artinya : Barangsiapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2592]

Maka seorang dai dan pendidik hendaknya menempuh metode-metode yang bermanfaat dan menghindari kekerasan dan kekasaran, karena hal itu bisa menyebabkan ditolaknya kebenaran serta bisa menimbulkan perselisihan dan perpecahan di antara sesama kaum muslimin. Perlu selalu diingat, bahwa apa yang anda maksudkan adalah menjelaskan kebenaran dan ambisi untuk diterima serta bermanfaatnya dakwah, bukan bermaksud untuk menunjukkan ilmu anda atau menunjukkan bahwa anda berdakwah atau bahwa anda loyal terhadap agama Alah, karena sesungguhnya Allah mengetahui segala yang dirahasiakan dan yang disembunyikan. Jadi, yang dimaksud adalah menyampaikan dakwah dan agar manusia bisa mengambil manfaat dari perkataan anda. Dari itu, hendaklah anda memiliki faktor-faktor untuk diterimanya dakwah dan menjauhi faktor-faktor yang bisa menyebabkan ditolaknya dan tidak diterimanya dakwah.

[Majmu Fatawa Wa Maqalat Mutanawwiah, Juz 5, hal.155-156, Syaikh Ibnu Baz]

[Fatwa Fatwa Terkini, (Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram), Darul Haq, Jil. 2, hal.198]

Pertanyaan:
Bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap perbedaan-perbedaan madzhab yang menyebar di berbagai golongan dan kelompok ?

Jawaban:
Yang wajib baginya adalah memegang yang haq, yaitu yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah RasulNya, serta loyal terhadap yang haq dan mempertahankannya. Setiap golongan atau madzhab yang bertentangan dengan yang haq, maka ia wajib berlepas diri darinya dan tidak menyepakatinya.

Agama Allah hanya satu, yaitu jalan yang lurus, yakni beribadah hanya kepada Allah semata dan mengikuti Rasulnya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah memegang yang haq dan konsisten dalam melaksanakannya, yaitu mentaati Allah dan mengikuti syariatNya yang telah dajarkan oleh NabiNya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, disertai ikhlas karena Allah dalam melaksanakannya dan tidak memalingkan ibadah sedikitpun kepada selain Allah azza wa jalla. Karena itu, setiap madzhab yang menyelisihi yang haq dan setiap golongan yang tidak menganut aqidah ini, harus dijauhi dan harus berlepas diri darinya serta mengajak para penganutnya untuk kembali kepada yang haq dengan mengungkapkan metode yang tepat sambil menasehati yang haq pada mereka dengan kesabaran

Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi ah juz 5, hal 157-158, Syaikh Ibnu Baz

[Fatwa Fatwa Terkini, (Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram), Darul Haq, Jil. 2), hal.196]

Pertanyaan:
Di dalam edisi majalah al-‘Araby, Vol. 205 hal. 15, bulan Desember 1975 M terdapat tanya jawab (hasilnya-penj.), “Telah terbukti bahwa laki-lakilah yang menentukan jenis kelamin si janin”

Bagaimana sikap agama terhadap hal ini? Apakah ada yang mengetahui hal yang ghaib selain Allah?

Jawaban:
Pertama, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla sematalah Yang dapat membentuk kandungan yang ada dalam rahim sebagaimana dikehendakinyNya. Dia bisa menjadikannya laki-laki atau perempuan, sempurna atau cacat dan kondisi janin lainnya. Hal ini tidak ada yang mengetahuinya keculali Allah Azza wa Jalla sebagaimana firmanNya,

“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Ali Imran:6)

Dan firmanNya,

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa (Asy-Syura: 49:50)

dalam ayat tersebut, Allah Azza wa Jalla memberitakan bahwa hanya Dialah Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, menciptakan apa yang dikehendakiNya, lalu membentuk kandungan yang ada di dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya pula, baik berjenis kelamin laki -laki atau perempuan, dallam kondisi apapun adanya; cacat atau sempurna, cantik dan bagus atau jelek dan buruk rupa serta kondisi kondisi lainnya. hal ini tidak ada seorangpun yang bisa melakukkannya selainNya, juga tidak dapat dilakukan oleh sesuatu yang disekutukan terhadapNya.

Klaim bahwa seorang suami, dokter atau filosof mampu menentukan jenis kelamin adalah klaim dusta belaka. tidak banyak yang dapat dilakukan oleh suami dan orang yang menempati posisinya selain berupaya keras melalui proses jima’nya, yaitu melakukannya dimasa subur dengan harapan terjadi kehamilan.

(Kumpulan fatwa dari sekelompok Ulama, Dar al Arqam, Juz I, hal.37-38)

[Fatwa Fatwa Terkini, (Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram), Darul Haq, Jil. 1]

Hadits Kesembilan Puluh Tujuh (Riyadus Shalihin):

“Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Ada dua nikmat dimana manusia banyak tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang’.” (Diriwayatkan Bukhari)

Penjelasan:
Pengarang An-Nawawi-mengutip hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada dua nikmat dimana manusia banyak tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” Atau banyak orang yang tertipu dengan dua jenis nikmat yang diberikan kepada mereka, yaitu nikmat kesehatan dan kesempatan. Demikian itu karena jika manusia sehat, dia mampu melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan mampu meninggalkan apa yang dilarang Allah, lapang dada, dan hatinya tenang. Begitu juga orang yang bisa melakukan sesuatu adalah orang yang mempunyai kesempatan dan waktu luang.

Ketika manusia dalam keadaan sehat dan waktu luang, kadang dia justru banyak tertipu karena kebanyakan waktunya berlalu sia-sia tanpa faidah. Begitu juga tatkala kita dalam keadaan sehat walafiat dan luang, kita justru banyak menyia-nyiakan waktu. Akan tetapi, kita tidak tahu bahwa kita tertipu sewaktu didunia. Kita akan tahu bahwa kita tertipu tatkala ajal menjemput dan pada hari kiamat.

Dalil yang menunjukkan masalah ini adalah firman Allah,
“(Demikian keadaaan orang orang kafir itu), hingga apabila kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang salih terhadap yang telah aku tinggalkan …” (Al Mukminun: 99-100)

Di dalam ayat lain Allah berfirman,
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang diantara kamu; Lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang orang yang salih ?’ Dan Allah sekali-kali tidak akan menagguhkan (kematian) seorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Munaafiquun: 10-11)

Memang kenyataannya banyak waktu yang terbuang sia-sia tanpa membawa manfaat bagi kita maupun orang lain. Kita tidak akan menyesali masalah ini, kecuali jika ajal tiba. Setiap manusia berharap agar dia diberi kesempatan walaupun hanya satu menit untuk kembali kedunia, akan tetapi hal itu tidak akan dikabulkan.

Ada diantara manusia yang tidak kehilangan kedua nikmat (kesehatan dan kesempatan) ini dan ada pula diantara mereka yang telah kehilangan kesempatan dan kesehatan itu sebelum meninggal. Ada diantara mereka yang sakit hingga tidak bisa melaksanakan apa yang diwajibkan Allah padanya, dadanya sempit dan merasa capek. Ada diantara mereka yang sibuk mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya sehingga banyak kewajiban yang terlewatkan.

Maka dari itu, bagi orang yang berakal, dia harus menggunakan kesempatan, kesehatan, dan waktu luang untuk ketaatan kepada Allah semampunya. Jika seorang yang bisa membaca Al Qur’an, hendaklah dia memperbanyak bacaan Al Qur’an. Jika dia tidak bisa membaca Al Qur’an, hendaklah dia memperbanyak zikir kepada Allah, jika seseorang tidak bisa beramar ma’ruf dan bernahi mungkar serta tidak bisa memberikan pertolongan kepada saudara-saudaranya dengan kebaikan, maka hidupnya akan sia-sia. Orang berakal adalah orang yang menggunakan kesempatan, yaitu kesempatan diwaktu sehat dan luang.

Dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran:

Pertama, dalam hadits ini terdapat dalil bahwa nikmat Allah itu bertingkat-tingkat, sebagian nikmat ada yang lebih besar dari sebagian yang lain. Nikmat Allah yang paling besar diberikan kepada manusia adalah nikmat Islam karena banyak orang yang telah tersesat dari nikmat Islam ini. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu …” (Al Maidah: 3)

Jika manusia tahu bahwa Allah telah memberi nya nikmat Islam dan melapangkan dadanya untuk menerimanya, maka ini merupakan nikmat yang terbesar.

Kedua, nikmat akal . Jika anda melihat orang yang tidak waras akalnya , anda dapati dia tidak lurus dalam perilakunya. Mungkin berperilaku buruk kepada dirinya sendiri, atau kepada istrinya ,dan sebagainya, sehingga nikmat akal juga termasuk nikmat yang paling besar.

Ketiga, nikmat keamanan dalam negara . Ini juga termasuk nikmat yang paling besar. Kita ambil contoh orang –orang sebelum kita, mereka sangat ketakutan tinggal di negeri ini hingga kita mendengar bahwa jika ada salah seorang dari mereka keluar untuk mengerjakan shalat shubuh, dia harus membawa pedang karena takut ada orang yang menyerangnya. Nikmat keamanan tidak ada yang menandinginya, kecuali nikmat Islam dan akal.

Keempat, kehidupan yang melimpah di negeri kita ini yang datang dari berbagai macam tempat. Rumah kita penuh dengan rezeki sehingga kita harus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang besar ini . kita harus taat kepada Allah sehingga Allah memberikan kepada kita tambahan nikmat karena Allah berfirman,

“Dan (ingatlah juga ), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab–Ku sangat pedih” (Ibrahim : 7)

(Syaikh Muhammad Al Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin, Darul Falah, Jilid 1, hal 561)

Nama lengkap Muhammad bin Muslim Az-Zuhri ialah Abu Bakr Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Al-Qurasyi Az Zuhri, dari Bani Zahrah. Beliau adalah ulama besar tabi’i yang mula-mula membukukan hadis dan salah seorang hafizh yang besar dari Madinah yang terkenal diseluruh Hijaz dan Syam.

Kritikus hadis bersepakat bahwa Az-Zuhri merupakan seorang perawi tsiqat yang luas ilmunya, banyak menghapal hadis, dan menguasai periwayatan. Beliau dikenal sebagai peneliti yang tangguh dan kuat sebagaimana yang dikenal Bukhari selanjutnya. Hadis yang dia dengarkan diperhatikan dan dihapalkannya dengan baik, sedikitpun tidak ada yang dilupakan. Dikatakan Abdullah bin Dzakwan, “Kami mencatat hadis tentang halal dan haram saja, sedangkan Ibnu Sihab Az-Zuhri menulis semua hadis yang didengarnya. Ketika orang memerlukannya, barulah kami tahu Az-Zuhri adalah orang yang paling alim diantara orang orang.

Oleh karena itu, ketika Khalifah Umar bin Abdil Aziz bermaksud menghimpun hadis dan tidak menemukan orang orang yang lebih baik dari Az-Zuhri, maka Khalifah Abdil Aziz menyerahkan kepadanya seraya berkata, “Tidak saya temukan seorangpun yang mengetahui tentang hadis (sunnah) daripada Az-Zuhri, dari orang orang sebelumnya.” Diceritakan Imam Al-Laits, “Saya belum pernah melihat orang yang menghimpun hadis seperti yang dilakukan Az-Zuhri yang menguasai Al-Qur’an, sunnah, fiqih, dan Al-Ansab (silsilah).

Az-Zuhri Radhiyallahu ‘anhu mendatangi majelis-majelis dan menemui pemuda-pemudi, orang-orang tua laki-laki, perempuan untuk menanyakan hadis kepada mereka. Beliau datang ke rumah-rumah penduduk laki-laki maupun perempuan dan tidak ada orang yang merintanginya didalam jalan agama.” Pada suatu ketika beliau diuji oleh Hisyam bin Abdu Malik, Kjalifah Al-Amawi yang minta diimlakan (didiktekan) hadis. Maka Az-Zuri mendiktekan 400 buah hadis kepada penulis (sekretarisnya). Setelah waktu berjalan satu tahun kemudian, Hisyam berkata pada Az-Zuhri, “Kitab saya telah hilang, tolong diktekan sekali lagi untuk saya ! Lalu Az-Zuhri mendiktekannya. Kemudian Hisyam mencocokkannya dengan dengan tulisan yang pernah diimlakan (didiktekannya) setahun yang telah lewat. Ternyata tidak terjadi perbedaan satu huruf pun. Dikatakan Imam Bukhari, “Bahwa lebih kurang 2000 hadis yang diriwayatkan Az-Zuhri.”

Beliau menerima hadis dari Abdullah bin Ja’far, Rabi’ah bin ‘Abbad, Al-Miswar bin Mahramah, Abdurrahman bin Azhar, Abdullah bin ‘Amir, Sahal bin Sa’ad, Anas bin Malik, Jabir, Abu At-Thufail, Abu Umamah bin Sahl bin Hanif, Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Muhammad bin Al-Hanafiyah. Beliau meriwayatkan hadis secara irsal dari ‘Ubadah bin Shamit, Abu Hurairah, dan Rafi’ bin Khodij.

Hadis hadisnya diriwayatkan oleh ‘Atha bin Abi Rabah, Abu Zubair, Al-Makki, Umar bin Abdil Aziz, ‘Amr bin Dinar, Shalih bin Kaisan, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, saudaranya Abdullah bin Muslim Al-Anshari, Al-Auza’i, Ibnu Jurij, dan Sulaiman bin Katsir.

Beliau lahir pada tahun 51 H. dan wafat pada tahun 124 H. dalam usia 73 tahun.

(Dr.Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, Terjemahan: Drs.A.Zarkasyi Chumaidy, Cetakan Pertama, Bandung: CV.Pustaka Setia, 1998)

Imam Syafi’i berkata dalam salah satu riwayat yang diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam sebuah kitab al faqih wa al-muttafaqah lahu bahwa: “Seseorang tidak diperbolehkan memberikan fatwa dalam masalah agama, kecuali bagi seseorang yang memiliki:

  • Pengetahuan tentang Al-Qur’an, baik menyangkut ayat nasikh dan mansukhnya, ayat muhkamat dan mutasyabihatnya, ta’wil (tafsir) dan tanzil (sebab turun)-nya, ayat Makkiyah dan Madaniyahnya, dan isi kandungannya.
  • Setelah itu dia harus mengetahui Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik hadits nasikh dan mansukhnya, dan dia harus mengetahui Al-Hadits tersebut seperti dia mengetahui Al-Quran, serta dia harus menggunakan hal tersebut secara adil.
  • Kemudian setelah itu dia harus mengetahui perbedaan pendapat orang yang berilmu dari berbagai penjuru, lalu mendalaminya.

Apabila sudah seperti itu, maka diperbolehkan baginya untuk mengemukakan pendapat dan memberikan fatwa dalam masalah halal dan haram. Seandainya tidak seperti itu, maka tidak diperbolehkan baginya untuk memberikan fatwa”.

[Ibnu Qayyim Al Jauziah, I’lamul Muwaqi’in (Panduan Hukum Islam), Pustaka Azzam]