Archive for the ‘ADAB, AKHLAK DAN NASIHAT’ Category

Disebutkan dalam sebuah hadits, “Saling berwasiatlah kalian tentang wanita dengan baik, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas,” dst. Mohon penjelasan makna hadits dan makna “tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas’”

Jawaban:

Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim) dalam masing masing kitab Shahih mereka, dari Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

” Saling berwasiatlah kalian tentang wanita dengan baik, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk,  dan sesunggugnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka nasehatilah para wanita dengan baik.” [(HR al-Bukhari Kitab an-Nikah (5186)]

Ini adalah perintah untuk para suami, para ayah, saudara saudara laki laki dan lainnya untuk menasehati kaum wanita dengan baik, berbuat baik terhadap mereka , tidak mendzhalimi mereka dan senantiasa memberikan ha-hak mereka serta mengarahkan mereka kepada kebaikan. Ini yang diwajibkan atas semua orang berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam,“Saling berwasiatlah tentang wanita dengan baik.”

Hal ini jangan sampai terhalangi oleh perilaku mereka yang adakalanya bersikap buruk terhadap suaminya dan kerabatnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan karena para wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, sebagaimana dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bahwa tulang rusuk yang paling mudah bengkok adalah yang paling atas.

Sebagaimana diketahui, bahwa yang paling atas itu adalah yang setelah pangkal rusuk, itulah tulang rusuk yang paling bengkok, itu jelas. Maknanya, pasti dalam kenyataannya ada kebengkokkan dan kekurangan. Karena itulah disebutkan dalam hadits lain dalam ash-Shahihain.

“Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bisa menghilangkan akal laki laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita).”  [(HR. Al Bukhari, kitab al-Haidh (304) dan Muslim, kitab al-Iman (80)]

Maksudnya bahwa ini penetapan Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang disebutkan dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Makna “kurang akal” dalam sabda Nabishalallahu ‘alayhi wasallam adalah bahwa persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang laki laki.

Sedangkan makna “kurang agama” dalam sabda beliau adalah bahwa wanita itu kadang selama beberapa hari dan beberapa malam tidak shalat, yaitu ketika sedang haidh dan juga saat nifas. Kekurangan ini merupakan ketetapan Allah pada kaum wanita sehingga wanita tidak berdosa dalam hal ini.

Maka hendaknya wanita mengakui hal ini sesuai dengan petunjuk nabi shalallahu ‘alayhi wasallamwalaupun ia berilmu dan bertaqwa, karena nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tapi merupakan wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya, lalu beliau sampaikan kepada ummatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm:4)

Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 5 hal. 300-301, Syaikh Ibn Baz.

Fatwa Fatwa Terkini, (Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram), Darul Haq, Jil. 1, hal.518

Dalam sebuah majlis dan pergaulan, sikap dan tindakan ini sungguh amat tidak terpuji, bahkan sikap dan tindakan seperti ini sebenarnya merupakan langkah syaitan untuk memecah belah umat Islam dan menebarkan kecemburuan, kecurigaan dan kebencian di antara mereka. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menerangkan hukum dan akibat perbuatan ini dalam sabdanya:

“Jika kalian sedang bertiga, maka janganlah dua orang berbisik tanpa seorang yang lain, sehingga kalian membaur dalam pergaulan dengan manusia, sebab yang demikian itu akan membuatnya sedih” (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 11/83).

Termasuk di dalamnya berbisik dengan tiga orang dan meninggalkan orang keempat dan demikian seterusnya. Demikian pula, jika kedua orang tersebut berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Tidak diragukan lagi, berbisik hanya berdua dengan tidak menghiraukan orang ketiga adalah salah satu bentuk penghinaan kepadanya. Atau memberikan asumsi bahwa keduanya menginginkan suatu kejahatan terhadap dirinya. Atau mungkin menimbulkan asumsi-asumsi lain yang tidak menguntungkan bagi kehidupan pergaulan mereka di kemudian hari.

(Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, Dosa-Dosa Yang Dianggap Biasa)

Hadits Kesembilan Puluh Tujuh (Riyadus Shalihin):

“Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Ada dua nikmat dimana manusia banyak tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang’.” (Diriwayatkan Bukhari)

Penjelasan:
Pengarang An-Nawawi-mengutip hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada dua nikmat dimana manusia banyak tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” Atau banyak orang yang tertipu dengan dua jenis nikmat yang diberikan kepada mereka, yaitu nikmat kesehatan dan kesempatan. Demikian itu karena jika manusia sehat, dia mampu melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan mampu meninggalkan apa yang dilarang Allah, lapang dada, dan hatinya tenang. Begitu juga orang yang bisa melakukan sesuatu adalah orang yang mempunyai kesempatan dan waktu luang.

Ketika manusia dalam keadaan sehat dan waktu luang, kadang dia justru banyak tertipu karena kebanyakan waktunya berlalu sia-sia tanpa faidah. Begitu juga tatkala kita dalam keadaan sehat walafiat dan luang, kita justru banyak menyia-nyiakan waktu. Akan tetapi, kita tidak tahu bahwa kita tertipu sewaktu didunia. Kita akan tahu bahwa kita tertipu tatkala ajal menjemput dan pada hari kiamat.

Dalil yang menunjukkan masalah ini adalah firman Allah,
“(Demikian keadaaan orang orang kafir itu), hingga apabila kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang salih terhadap yang telah aku tinggalkan …” (Al Mukminun: 99-100)

Di dalam ayat lain Allah berfirman,
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang diantara kamu; Lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang orang yang salih ?’ Dan Allah sekali-kali tidak akan menagguhkan (kematian) seorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Munaafiquun: 10-11)

Memang kenyataannya banyak waktu yang terbuang sia-sia tanpa membawa manfaat bagi kita maupun orang lain. Kita tidak akan menyesali masalah ini, kecuali jika ajal tiba. Setiap manusia berharap agar dia diberi kesempatan walaupun hanya satu menit untuk kembali kedunia, akan tetapi hal itu tidak akan dikabulkan.

Ada diantara manusia yang tidak kehilangan kedua nikmat (kesehatan dan kesempatan) ini dan ada pula diantara mereka yang telah kehilangan kesempatan dan kesehatan itu sebelum meninggal. Ada diantara mereka yang sakit hingga tidak bisa melaksanakan apa yang diwajibkan Allah padanya, dadanya sempit dan merasa capek. Ada diantara mereka yang sibuk mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya sehingga banyak kewajiban yang terlewatkan.

Maka dari itu, bagi orang yang berakal, dia harus menggunakan kesempatan, kesehatan, dan waktu luang untuk ketaatan kepada Allah semampunya. Jika seorang yang bisa membaca Al Qur’an, hendaklah dia memperbanyak bacaan Al Qur’an. Jika dia tidak bisa membaca Al Qur’an, hendaklah dia memperbanyak zikir kepada Allah, jika seseorang tidak bisa beramar ma’ruf dan bernahi mungkar serta tidak bisa memberikan pertolongan kepada saudara-saudaranya dengan kebaikan, maka hidupnya akan sia-sia. Orang berakal adalah orang yang menggunakan kesempatan, yaitu kesempatan diwaktu sehat dan luang.

Dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran:

Pertama, dalam hadits ini terdapat dalil bahwa nikmat Allah itu bertingkat-tingkat, sebagian nikmat ada yang lebih besar dari sebagian yang lain. Nikmat Allah yang paling besar diberikan kepada manusia adalah nikmat Islam karena banyak orang yang telah tersesat dari nikmat Islam ini. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu …” (Al Maidah: 3)

Jika manusia tahu bahwa Allah telah memberi nya nikmat Islam dan melapangkan dadanya untuk menerimanya, maka ini merupakan nikmat yang terbesar.

Kedua, nikmat akal . Jika anda melihat orang yang tidak waras akalnya , anda dapati dia tidak lurus dalam perilakunya. Mungkin berperilaku buruk kepada dirinya sendiri, atau kepada istrinya ,dan sebagainya, sehingga nikmat akal juga termasuk nikmat yang paling besar.

Ketiga, nikmat keamanan dalam negara . Ini juga termasuk nikmat yang paling besar. Kita ambil contoh orang –orang sebelum kita, mereka sangat ketakutan tinggal di negeri ini hingga kita mendengar bahwa jika ada salah seorang dari mereka keluar untuk mengerjakan shalat shubuh, dia harus membawa pedang karena takut ada orang yang menyerangnya. Nikmat keamanan tidak ada yang menandinginya, kecuali nikmat Islam dan akal.

Keempat, kehidupan yang melimpah di negeri kita ini yang datang dari berbagai macam tempat. Rumah kita penuh dengan rezeki sehingga kita harus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang besar ini . kita harus taat kepada Allah sehingga Allah memberikan kepada kita tambahan nikmat karena Allah berfirman,

“Dan (ingatlah juga ), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab–Ku sangat pedih” (Ibrahim : 7)

(Syaikh Muhammad Al Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin, Darul Falah, Jilid 1, hal 561)